WAJIB TAHU APA ITU FEMINISME, PERGERAKKAN PEREMPUAN

 



Sejarah Feminisme

Feminisme tidak bisa terlepas dari gerakan perempuan yang muncul pertama kali di AS (Amerika Serikat). Perempuan Eropa dan Amerika pada abad kesembilan belas hidup di zaman yang ditandai dengan ketidaksetaraan gender. Pada awal abad ini, perempuan menikmati beberapa hak hukum, sosial, atau politik yang sekarang diterima begitu saja di negara-negara barat: mereka tidak dapat memilih, tidak dapat menuntut atau dituntut, tidak dapat bersaksi di pengadilan, memiliki kontrol yang sangat terbatas atas properti pribadi setelah menikah, jarang diberikan hak asuh hukum anak-anak mereka dalam kasus perceraian, dan dilarang dari lembaga pendidikan tinggi. Perempuan diharapkan untuk tetap tunduk kepada ayah dan suami mereka. Pilihan pekerjaan mereka juga sangat terbatas. Wanita kelas menengah dan atas umumnya tetap di rumah, merawat anak-anak mereka dan menjalankan rumah tangga. Wanita kelas bawah sering bekerja di luar rumah, tetapi biasanya sebagai pembantu rumah tangga atau buruh yang dibayar rendah di pabrik dan pabrik. Permulaan industrialisasi, urbanisasi, serta pertumbuhan ekonomi pasar, kelas menengah, dan harapan hidup mengubah masyarakat Eropa dan Amerika dan kehidupan keluarga. Untuk sebagian besar abad kedelapan belas melalui beberapa dekade pertama abad kesembilan belas, keluarga bekerja sama, membagi tugas pertanian atau bekerja di bisnis milik keluarga skala kecil untuk mendukung diri mereka sendiri. 

Dengan pertumbuhan merkantil yang cepat, bisnis besar, dan migrasi ke kota-kota besar setelah tahun 1830, bagaimanapun, rumah keluarga sebagai pusat produksi ekonomi secara bertahap diganti dengan pekerja yang mencari nafkah di luar rumah. Dalam kebanyakan kasus, pria adalah "pencari nafkah" utama dan wanita diharapkan tinggal di rumah untuk membesarkan anak-anak, membersihkan, memasak, dan menyediakan surga bagi suami yang kembali. Sebagian besar sarjana setuju bahwa Zaman Victoria adalah masa polarisasi gender yang meningkat karena perempuan diharapkan untuk mematuhi lingkup tugas domestik dan moral yang didefinisikan secara kaku, pembatasan yang semakin ditentang oleh perempuan dalam dua pertiga abad terakhir. Analisis ilmiah wanita abad kesembilan belas telah mencakup pemeriksaan peran gender dan perlawanan di kedua sisi Atlantik, paling sering berfokus pada perbedaan dan kesamaan antara kehidupan wanita di Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Sementara sebagian besar penelitian ini telah berkonsentrasi pada bagaimana perempuan kulit putih, kelas menengah bereaksi terhadap lingkup domestik atau swasta yang ditugaskan pada abad kesembilan belas, ada juga minat dalam dinamika peran gender dan harapan masyarakat di komunitas minoritas dan kelas bawah. Meskipun studi ini dapat menjadi pelengkap, mereka juga menyoroti kesulitan membuat generalisasi tentang kehidupan perempuan dari latar belakang budaya, ras, ekonomi, dan agama yang berbeda dalam satu abad perubahan yang stabil. Maka munculah pergerakan untuk menuntut hak perempuan. Menurut Soenarjati Djayanegara dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminis, menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang memicu munculnya gerakan feminisme di AS, yaitu faktor politik, keagamaan, dan sosial.

     1. Faktor Politik

Dimulai dari kemerdekaan Ammerika tahun 1776 salah satu statement dari proklamasi itu adalah all men are created equual (semua laki-laki diciptakan sama) tanpa menyebutkan kata perempuan. Para feminis (kaum wanita) merasa bahwa pemerintah AS tidak peduli pada kepentingan perempuan. Statement itu akhirnya memicu gerakan perempuan yang dikenla dengan women’s Great Rebellion (pemberontakan besar perempuan) dan pada tahun 1848 dalam sebuah konvensi di Secena Falls, para tokoh feminis memproklamirkan versi lain dari deklarasi kemerdekaan AS, yaitu all men and women are created equal (semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama).

     2. Faktor Keagamaan

Agama kristen yang katolik atau protestan menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sebagai contoh Martin Luther dan John Calvin dalam ajaran-ajarannya menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama bisa berhubungan dengan Tuhan, namun perempuan tidak layak bepergian, harus tinggal dirumah mengurus rumah tangga. Bahkan dalam Gereja katolik perempuan dianggap sebagai makhluk kotor dan wakil iblis.

    3.  Faktor sosial

Yaitu pengaruh dari konsep sosialisme dan Marxisme. Menurut  kaum feminisme, kaum perempuan merupakan suatu kelas masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu kaum laki-laki. Tidak bernilai ekonomi sebab pekerjaan rumah tangga dianggap tidak berharga karena tidak menghasilkan uang sebagaimana pekerjaan laki-laki.

Gerakan tadi bertujuan meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sejajar sengan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan. Teori-teori tentang feminisme juga mulai muncul pada saat kemerdekaan AS. Tokoh Pertamanya adalah Mary Wollstoncraft (1759-1797).


Pada tahun 1963 terbit sebuah buku berjudul The Feminime Mystique yang ditulis Betty Friedan yaitu seorang sosiolog dan aktivis feminisme. Terbitnya buku ini menandai dimulainya gerakan feminis gelombang dua. Pada gelombang kedua ini hampir semua sektor terkena dampak dari feminisme dan salah satunya dunia sastra. Suatu survei di AS mengungkpkan bahwa karya sastra yang ada di Negeri itu sebagian besar tulisan kaum laki-laki dan hanya segelintir yang berasal dari kaum perempuan. Elaine showalter kritikus sastra feminis terkenal menyatakan bahwa mayoritas karya sastra di AS selama berabad-abad lamanya tidak pernah menyinggung penulis perempuan. Berdasarkan hal itu salah satu target kritik sastra feminis adalah menggali, mengkaji, dan menilai karya penulis-penulis perempuan dimasa silam. Jadi seiring dengan adanya gerakan feminisme, kritik sastra feminisme juga mulai berkembang pertama kalinya di AS pada pertengahan abad ke-20 dan kritik ini berkembang ke negara-negara lain seperti Kanada dan Prancis.

 

 Pengertian Feminisme

            Feminisme sangat berkaitan dengan dengan jender. Berbeda dengan kelamin (seks). Menurut Ensiklopedia Feminisme, jender adalah kelompok atribut yang dibentuk secara kultural pada laki-laki atau perempuan. Jender juga hakikatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat yang berbeda antara satu budaya dan budaya lain yang meliputi tanggungjawab, pola prilaku, kausalitas, dan lain-lain. Jender juga bisa berubah-ubah (tidak tetap) dan pastinya dapat diubah. Contohnya menurut sudut pandang kaum laki-laki perempuan itu lemah, padahal sudut pandang itu bisa berubah.

     Menurut Humm (2007: 157–158) feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan.

Sugihastuti, (2016:5) menyatakan bahwa kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubumgan dengan budaya, sastra dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan para faktor luar yang 7 mempengaruhi situasi karang-mengarang. Perempuan di dalam karya sastra ditampilkan dalam kerangka hubungan ekuvalensi dengan seperangkat tata nilai marginal dan yang tersubordinasi lainnya, yaitu sentimentalitas, perasaan, dan spiritualitas. Perempuan hampir selalu merupakan tokoh yanf dibeda, korban yang selalu diimbau untuk mendapatkan perhatian (Faruk dalam Sugihastuti, 2016:67).

            Menurut KBBI feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.

 

 Kritik Sastra Feminisme

Secara etimologis kritik berasal dari kata “krites” (bahasa Yunani) yang berarti ‘hakim’. Kata kerjanya adalah “krinein” (menghakimi). Kata tersebut juga merupakan pangkal dari kata benda “criterion” (dasar penghakiman). Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya.

Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada 1700-an (Madsen, 2000: 1). Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang ingin menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk oleh suara tradisional yang bersifat patriarkat (Ruthven, 1985: 6).

Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi gender, situasi ketika perempuan berada dalam dominasi laki-laki (Flax, dalam Nicholson, ed., 1990: 40). Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan opresi perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986: 22). Humm (1986: 14–15) juga menyatakan bahwa penulisan sejarah sastra sebelum munculnya kritik sastra feminis, dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, mendeskipsikan tulisan perempuan dengan perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya. Kritik sastra feminis dipelopori oleh Simone de Beauvoir melalui bukunya, Second Sex, yang disusul oleh Kate Millet (Sexual Politics), Betty Freidan (The Feminin Mistique), dan Germaine Greer (The Female Eunuch) (Humm, 1986: 21). Dalam perkembangannya ada beberapa ragam kritik sastra.

Showalter (1986) membedakan adanya dua jenis kritik sastra feminis, yaitu:

1.      kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai pembaca (the woman as reader/feminist critique). Kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca (woman as reader) memfokuskan kajian pada adalah citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki (Showalter, 1985: 130).

2.      Kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai penulis (the woman as writer/­gynocritics). Kritik sastra feminis ginokritik meneliti sejarah karya sastra perempuan (perempuan sebagai penulis), gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan perempuan, kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi (Showalter, 1985: 131).

Untuk memahami citraan perlawanan simbolis terhadap hegemoni patriarkat dalam bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor publik dalam novel-novel Indonesia akan digunakan kritik sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca (woman as reader), yang memfokuskan kajian pada adalah citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, serta pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan, yang dilakukan dalam kritik sastra sebelumnya.

 

Cara Kerja Kritik Sastra Feminisme

            Cara kerja kritik sastra feminis secara metodologis mengikuti cara kerja kritik sastra pada umumnya. Secara sistematik kegiatan diawali dengan kegiatan sebagai berikut:

a.      Memilih dan menbaca karya sastra yang akan dianalisis dan dinilai. Tentunya novel yang berhubungan dengan perempuan. Contoh

b.      Menentukan fokus masalah yang sesuai dengan perspektif kritik sastra feminis, misalnya berhubungan dengan kepenulisan perempuan atau gambaran mengenai tokoh-tokoh perempuan dalam relasinya dengan laki-laki dalam karya sastra, atau mengenai bagaimana tokoh-tokoh perempuan menghadapi masalah dalam kehidupannya di masyarakat (misalnya masalah pendidikan, sosial, budaya, politik, kesehatan, lingkungan, hukum, ketenagakerjaan, dan sebagainya).

c.      Melakukan kajian pustaka untuk memahami sejumlah konsep teoretik yang berhubungan dengan fokus masalah yang akan dipahami (dianalisis) dan tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahas masalah yang sama atau mirip. Kajian terhadap konsep teoretik akan membantu kita memahami masalah yang akan dianalisis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Sementara, kajian terhadap tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahas masalah yang sama atau mirip akan menjamin bahwa analisis yang kita lakukan bersifat orisinal, bukan duplikasi, ataupun plagiat dari tulisan sebelumnya.

d.      Mengumpulkan data primer maupun sekunder yang relevan dengan fokus masalah yang akan dianalisis. Data primer berasal dari karya sastra dan pengarang yang karyanya akan dianalisis, sementara data sekunder berasal dari berbagai sumber informasi (buku referensi, artikel, laporan penelitian, maupun hasil pengamatan langsung di lapangan) yang relevan dengan masalah yang akan dianalisis.

e.      Menganalisis data dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis. Dalam hal ini dapat dipilih ragam kritik sastra feminis yang sesuai dengan masalah yang akan dianalisis.

f.       Menginterpretasikan dan memberikan penilaian terhadap hasil penelitian sesuai dengan agam kritik sastra feminis yang dipilih.

g.      Menuliskan laporan kritik sastra dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan media yang akan dipilih untuk mempublikasikan. Ragam bahasa Indonesia baku akan dipilih ketika tulisan akan dipublikasikan ke terbitan ilmiah berkala (jurnal), sementara ragam bahasa Indonesia ilmiah populer dipilih ketika tulisan akan dipublikasikan ke media massa seperti surat kabar.


SUMBER RUJUKAN

Buana, Cahya. “Sejarah, Teori, dan Aplikasi Kritik Sastra Feminis”, 3 September 2009. Jurnal Al-Turas. Vol XV No. 3

Gale, Thomson.Feminism in Literature".2005. University of South Carolina. Vol 2

Efendi, Agik Nur. "Kritik Sastra". Januari 2020. Mazda Media: Bojonegoro


 

 

Komentar